Berbagai Pernyataan Pejabat Pemerintah Tentang Daging Sapi Ternyata Keliru !
Artikel ini ditulis oleh SekJen PPSKI, Rochadi Tawaf, di academia.edu dengan judul "SENGKARUT DAGING SAPI"
------------------------------------------------------
Sengkarut daging sapi belakangan ini berkembang makin memperkeruh suasana dan sangat tidak kondusif. Sesungguhnya penulis ingin mengikuti himbauan Prof. Bustanul Arifin, yang menyatakan “untuk sengkarut daging sapi kita tidak usah berkomentar yang tidak rasional terutama ditujukan kepada para pejabat pemerintah”.
Namun sebagai ilmuwan penulis memiliki tanggung jawab moral untuk meluruskan, berbagai pernyataan yang tidak benar tersebut. Mari kita ungkap satu satu pernyataan-pernyataan yang akhir-akhir ini menjadi kontroversial. Dimana pernyataan-pernyataan tersebut kerap menjadi kebijakan yang kontra produktif.
Misalnya, harga daging sapi di Indonesia termahal di dunia (HU PR, 13 Juni 2016) disampaikan oleh ketua MPR. Pernyataan ini sungguh sangat keliru. Pasalnya, data yang dipublikasi oleh Numbeo (2016) sebagai lembaga riset dunia yang melakukan kajian terhadap 2.737.545 harga daging di 5.861 kota, oleh 312.523 kontributor (enumerator) diberbagai negara di dunia sebagai berikut: Hasil kajiannya menunjukkan bahwa harga daging sapi yang berasal dari paha belakang di Indonesia, berada pada urutan ke 57 dunia dan di Asia diurutan ke 23, dengan harga berkisar Rp. 114.372,04/Kg.
Posisi harga ini, juga diperkuat juga oleh data kemendag (www.ews.kemendag.go.id) bahwa catatan harga daging sapi setiap hari berada di kisaran antara Rp.112.000 – Rp.117.000/kg sepanjang bulan ini. Demikian juga pernyataan Amran Sulaeman sebagai Menteri Pertanian dilansir oleh Detikfinance (26 Juni 2016) yang juga mengklaim bahwa harga daging sapi pada minggu ini telah mencapai Rp. 80.000,00/kg.
Pernyataan seorang menteri seharusnya menggunakan data yang valid, bukannya data spot yang diambil di satu tempat. Demikian juga halnya, pernyataan Jokowi di berbagai kesempatan yang menyatakan bahwa dia berkehendak menjungkir balikan situasi untuk menurunkan harga daging sapi yang semula berkisar Rp. 120.000,00 menjadi Rp. 80.000,00 per kg.
Pernyataan ini, menurut Mendag diperoleh dari staf ahlinya yang membandingkannya di negara tetangga Malaysia. Pembandingan harga dengan negara tetangga sesungguhnya sah-sah saja sepanjang menggunakan konsep “apple to apple” artinya yang dibandingkan didasarkan pada melihat “perbedaan dari produk dan kondisi yang sama”.
Kita ketahui bersama bahwa di Malaysia memiliki kebijakan atau undang-undang yang mengatur tentang harga dan keuntungan bisnis (price and profiteering act), sehingga harga impor bisa dikendalikan. Sementara itu di kita harga diserahkan kepada mekanisme pasar sehingga harga akan sangat tergantung kepada permintaan dan penawarannya.
Berdasarkan hal tersebut, di Malaysia dapat terbentuklah tiga katagori harga daging; yaitu harga daging (kerbau) asal India murah harganya, daging sapi impor asal australia menengah dan daging sapi produksi domestik mahal, dan konsumen dipersilahkan memilihnya.
Selain itu, di Malaysia sebagian besar usaha ternak sapi dilakukan oleh perusahaan dan populasinya sangat rendah, yaitu dibawah 900ribu ekor. Berdasarkan hal tersebut, rasanya tidak layak jika kita membandingkan harga daging di Indonesia dengan di Malaysia yang tergantung impor dan negaranya belum bebas penyakit menular utama pada ternak ruminasia yaitu penyakit mulut dan kuku.
Pernyataan yang memprihatinkan lainnya adalah pernyataan Pramono Anung sebagai Mensekab yang dilansir oleh Republika.co.id (29 Juni 2016) bahwa Pemerintah Ingin Gunakan Daging Selundupan untuk Operasi Pasar menjelang Idul fitri.
Pernyataan ini mengejutkan banyak pihak, pasalnya daging selundupan adalah daging yang tidak diketahui asal muasalnya, mungkin saja berasal dari RPH yang tidak halal atau merupakan produk yang kualitas dan standarnya tidak diketahui. Rasa-rasanya pemerintah harus mempertimbangkan kebijakan ini.
Jika saja latarbelakang kebijakan ini, ditujukan untuk menurunkan harga, berdasarkan analisis penulis harga daging tidak akan mengalami penurunan yang signifikan dengan menggelontorkan daging ilegal yang hanya 7 kontainer. Pasalnya, daging yang diperlukan dalam menghadapi hari raya idul fitri saat ini adalah daging segar yang diperoleh dari RPH di dalam negeri, bukannya daging industri beku asal impor.
Disadari bahwa semuanya ini berpangkal kepada data yang salah, oleh karenanya para ahli menggunakan data harga sebagai patokan atas fluktuasi permintaan penawaran daging sapi. Jika harga tinggi tentu diakibatkan oleh meningkatnya permintaan dan atau rendahnya penawaran.
Atas dasar hal tersebut, dari data yang penulis peroleh bahwa realisasi sapi bakalan impor yang diberikan kepada para pengusaha penggemukan sapi secara nasional pada triwulan pertama dan kedua tahun 2016 hanya sekitar 54,3 % dan 48,3% saja. Sudah barang tentu, penawaran daging sapi ke pasar selama ramadhan dan Idulfitri akan sangat kekurangan, dan kondisi ini berakibat terhadap harga daging yang tetap tinggi.
Kenyataan seperti ini telah terjadi berulangkali sejak tahun 2012, yaitu terjadi penurunan impor sapi bakalan dari 53% menjadi 17,5% dan ditahun 2015, terjadinya pemangkasan impor sapi dari 250 ribu ekor menjadi 50 ribu ekor di triwulan ketiga. Keadaan ini tidak dijadikan cermin bagi pemerintah untuk menyusun kebijakan yang masif, berstandar dan berkesinambungan untuk mengatasi terjadi fluktuasi harga daging sapi.
Atas berbagai fenomena tersebut, kini pemerintah telah mengeluarkan pula kebijakan impor daging dari India melalui PP No. 4/2016 dan keputusan Mentan No. 2665/2016. Sungguh kebijakan ini sangat kontroversial yaitu melanggar komitmen Indonesia yang telah meratifikasi perdagangan dunia dengan WTO.
Karena berdasarkan Resolusi No. 16 pada sidang umum ke 84 majelis dunia OIE bulan Mei 2016 ternyata bahwa India tidak termasuk sebagai negara anggota OIE yang bebas PMK baik berdasarkan negara maupun zona dalam suatu negara. Oleh karenanya, jika negeri ini melakukan importasi daging yang berasal dari India sudah dapat dipastikan bahwa Indonesia melanggar perjanjian perdagangan bebas dunia yang telah diratifikasinya.
Semua kebijakan tersebut di atas tengah bergulir saat ini, berdasarkan pengalaman yang telah terjadi selama ini dan pemikiran Yudi Guntara (2016) bahwa kondisi tersebut akan terjadi “supply create to demand”.
Beberapa contoh kasus yang terjadi adalah sebagai berikut; dulu, industri prosesing baso tidak mengenal daging impor sebagai bahan bakunya, kini daging impor digunakan oleh industri prosesing baso yang sangat sulit untuk digantikan, demikian juga dengan ayam kampung yang berubah menjadi ayam broiler.
Hal tersebut, karena para pejabat di negeri ini tidak berpijak kepada upaya peningkatan produksi dalam negeri dan akibatnya akan terjadi ketergantungan terhadap impor, demikian juga halnya dengan daging sapi.
Berdasarkan fenomena tersebut, rasanya sangat pantas kebijakan impor hanya digunakan sebagai “penyambung dan pendukung” (40%) atas “tulang punggung” (60%) produksi dalam negeri daging sapi yang masih mampu ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan konsumen yang tumbuh cepat ketimbang produksi dalam negeri.