”Susu Sekolah” dan Kesejahteraan Peternak Sapi Perah
Kebijakan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26 Tahun 2017 tentang Penyediaan dan Peredaran Susu telah mengalami dua kali perubahan dalam waktu singkat. Pertama menjadi Permentan No 30/2018 dan, kedua, berganti lagi jadi Permentan No 33/2018. Setidaknya ada enam pasal yang diubah, yaitu pasal 23, 24, 28, 30, 34, dan pasal 44.
Inti dari kebijakan ini: industri pengolah susu (IPS) tak wajib menyerap produksi susu yang dihasilkan peternak sapi perah rakyat. Selain kebijakan tersebut, Kementerian Perindustrian juga telah mengajukan keringanan bea masuk yang ditanggung pemerintah bagi bahan baku industri susu.
Kebijakan ini sangat menyakitkan peternak sapi perah rakyat. Pasalnya, subsidi bahan baku impor diberikan kepada IPS, bukan kepada peternak rakyat. Jika subsidi tersebut diberikan kepada peternak rakyat, tentu akan mampu menekan biaya dan hasil produksinya akan jadi kompetitif dan dapat diserap oleh IPS.
Kebijakan-kebijakan inilah yang menyebabkan seolah tiada harapan hidup lagi bagi usaha peternakan sapi perah rakyat jika memasarkan ke IPS. Hal tersebut mengindikasikan telah terjadi ketidakakuratannya analisis akademik dalam kebijakan mengembangkan agrobisnis persusuan berbasis peternakan rakyat.
Pasca-krisis ekonomi 1998, dengan diterbitkannya LoI antara Pemerintah RI dan IMF, telah berdampak dicabutnya Inpres No 2/1985 tentang Koordinasi Pembinaan dan Pengembangan Persusuan Nasional. Akibatnya hingga kini peternakan sapi perah rakyat hidup tanpa proteksi.
Danpaknya mudah diduga: jumlah peternak, kelembagaan koperasi, populasi sapi perah, produksi susu, dan produktivitasnya turun drastis. Pada 1990-an kontribusi produksi susu segar dalam negeri (SSDN) mampu mencapai 50%, tetapi kini tinggal 18% saja.
Alternatif pasar susu Sesungguhnya dalam sistem agrobisnis persusuan pasar adalah komponen utama dan pertama yang harus dibenahi. Jika pasarnya kondusif, dia akan mampu memberikan dampak terhadap peningkatan produksi SSDN untuk menjadi tuan rumah di negerinya sendiri.
Mengapa kebijakan pemasaran menjadi strategis? Hal ini terutama karena susu merupakan komoditas yang mudah rusak dan bersifat voluminous. Sementara sekitar 90% budidaya sapi perah ini dikuasai oleh peternakan rakyat dengan skala 3-4 ekor per rumah tangga. Realitasnya, koperasi persusuan belum mampu mengentaskan kesejahteraan anggotanya dalam memasarkan produksinya.
Alhasil, sampai saat ini IPS masih merupakan pasar andalan peternak sapi perah rakyat. Kondisi pemasaran susu ke IPS, bentuk pasarnya disebut sebagai pasar oligopsoni, yaitu pasar yang terdapat beberapa pembeli, tetapi penjualnya banyak. Pasar oligopsoni adalah bentuk pasar yang dikuasai oleh lebih dari dua atau beberapa orang pembeli dengan penawaran dari sejumlah produsen/penjual.
Setiap pembeli punya peran cukup besar untuk memengaruhi harga yang dibelinya. Ciri khusus yang dimiliki oleh pasar oligopsoni di antaranya terdapat beberapa pembeli. Namun, pembeli bukan konsumen, melainkan pedagang atau industri antara. Barang yang dijual merupakan bahan mentah dengan harga cenderung stabil (Andrian, 2013).
Melihat karakteristik perilaku pasar yang seperti ini, peternak sapi perah sebagai produsen cenderung akan tertekan oleh kondisi harga produk yang relatif tetap. Hal ini terjadi karena dikompetisikan dengan tekanan harga bahan baku susu impor dari IPS. Sementara biaya produksi usaha ternak sapi perah di dalam negeri cenderung terus meningkat.
Kondisi inilah yang menyebabkan perlu adanya alternatif pasar susu bagi usaha ternak sapi perah rakyat guna kelangsungan hidupnya. Sudah saatnya peternak rakyat mendapatkan proteksi dan perlindungan usaha agar kegiatan perekonomian di pedesaan tetap tumbuh berkembang dan berkelanjutan.
Ceruk pasar yang dapat diambil oleh gerakan koperasi adalah pasar industri skala menengah yang selama ini secara fisik industrinya dimiliki oleh hampir seluruh gerakan koperasi. Namun, hingga kini realitasnya industri ini pun masih banyak dimanfaatkan oleh IPS.
Sesungguhnya kebijakan strategis yang dapat dilakukan pemerintah adalah menjadikan susu sebagai komoditas penyedia protein hewani strategis bagi anak-anak usia sekolah. Jika saja kebijakan ini ditetapkan dalam suatu peraturan perundang-undangan atau keputusan setara undang-undang seperti peraturan pemerintah, prospek pembangunan peternakan sapi perah akan semakin cerah.
Jika itu terwujud, kebijakan ini akan ditindaklanjuti oleh program Penyediaan Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMTAS), di mana komoditas SSDN dapat digunakan sebagai prasyarat komponen lokal yang ada di dalamnya. Sebab, SSDN yang dihasilkan oleh peternak sapi perah rakyat merupakan bahan baku pangan lokal penyedia protein hewani yang tidak tergantikan oleh jenis protein nabati lainnya serta memiliki keunggulan komparatif tinggi bagi pembangunan wilayah pedesaan.
Kebijakan seperti ini dikenal hampir di seluruh dunia dengan nama program susu sekolah (school milk program). Namun, anehnya di negeri ini, ternyata komoditas SSDN secara nyata tidak termasuk ke dalam program PMTAS.
Jika dilihat dari surat keputusan yang diterbitkan oleh Permendagri No 18/2011, PMTAS ditujukan antara lain:
- Bagi anak usia sekolah dengan asupan gizi yang cukup bagi peserta didik melalui makanan tambahan
- Meningkatkan ketahanan fisik
- Kehadiran peserta didik dalam mengikuti kegiatan belajar
- Meningkatkan kesehatan anak.
Makanan tambahan sebagaimana dimaksud dalam kebijakan ini berupa jajanan/kudapan yang berbahan pangan lokal/hasil pertanian setempat serta penyediaan air minum. Sesungguhnya SSDN dapat masuk ke dalam kategori sebagai komoditas bagi program PMTAS.
Industri skala menengah Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) sebagai koperasi sekunder di sentra produsen susu telah memiliki infrastruktur industri susu skala menengah yang mampu menyediakan komoditas pangan susu sebagai program PMTAS dalam segala bentuk kemasan.
Masalahnya, hanya soal keberpihakan dan menjadikan susu sebagai komoditas strategis bagi PMTAS. Kasus gerakan minum susu dan kampanye revolusi putih dalam bentuk kegiatan "Gerimis Bagus"(gerakan minum susu bagi usia sekolah) di Sukabumi, Jawa Barat, dan "Gerimis Sekawan" (gerakan minum susu bagi karyawan) di Jawa Tengah ternyata tak mampu bergerak secara berkelanjutan.
Pasalnya, semuanya tidak dicanangkan dalam bentuk kebijakan yang baku seperti peraturan daerah (perda) atau peraturan gubernur (pergub). Ceruk pasar susu sekolah dalam program PMTAS hanya berlaku bagi industri skala menengah yang menggunakan komponen SSDN di dalamnya.
Program ini sesungguhnya sangat besar volume serapnya dan amat berpotensi bagi pertumbuhan dan perkembangan industri susu skala menengah dan kecil. Akibat lanjutannya akan mendorong pengembangan kluster-kluster peternakan sapi perah rakyat di sentra-sentra produksi dengan jaminan pasar dan harga yang layak. Kebijakan ini tentu akan mampu menciptakan kesejahteraan peternak sapi perah di pedesaan.
Rochadi Tawaf, Sekjen PPSKI