Kebijakan impor daging sapi, awalnya bertujuan untuk menurunkan harga daging sapi dalam negeri pada saat bulan puasa, terutama menjelang Idul Fitri. Namun kebijakan tersebut dinilai oleh para pengamat peternakan, masih kurang efektif karena pada kenyataannya harga daging sapi tetap tinggi.
Penyebabnya antara lain adalah perbedaan data populasi sapi di Indonesia yang dimiliki oleh pemerintah dengan fakta di lapangan. Menurut pemerintah, populasi sapi dalam negeri tidak mampu memenuhi permintaan daging sapi didalam negeri. Itu sebabnya harga jual daging sapi tidak bisa turun.
Maka jalan keluar yang logis adalah mendatangkan sapi atau daging sapi dari luar negeri. Impor daging dan sapi diharapkan akan mampu menyeimbangkan antara suplay and demand sehingga harga daging dalam negeri bisa turun.
Problem lain adalah adanya “unsur politik” dalam proses pengambilan kebijakan tersebut. Para pengambil kebijakan (policy maker) tidak akan bisa melepaskan diri dari pengaruh politik.
Jika baik dan benar, tentunya pengaruh tersebut sangat berguna untuk menyelesaikan masalah-masalah peternakan. Namun jika “diboncengi” berbagai kepentingan pribadi, kelompok atau golongan tertentu maka kemungkinan besar akan menimbulkan kerugian.
Berdasarkan kondisi tersebut, seluruh insan peternakan Indonesia harusnya mampu memainkan peran yang lebih signifikan. Atau dengan kata lain kita dituntut untuk turut berpolitik.
Demikian kesimpulan yang didapat dari seminar nasional yang bertajuk "Dunia Industri Peternakan Dulu, Kini dan Esok", yang digagas oleh Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI) Pusat , pada kegiatan INDOLIVESTOCK 2016 Expo & Forum di gedung Jakarta Convention Center 27-29 Juli yang lalu.
Sumber : pontianakpost.com
------------------------------------
Tanggapan Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI), Ir. Teguh Boediyana.
PPSKI menegaskan bahwa jika ingin maju maka insan peternakan harus berpolitik. Karena banyak masalah dibidang peternakan yang bersinggungan langsung dengan dunia politik, mulai dari penyusunan dan pengesahan Undang-Undang, Kepres, Perpres, Kepmen, Permen, Pergub, Perbub, Perda dan sebagainya, semuanya merupakan produk-produk keputusan politik.
Belum lagi bicara mengenai penyusunan dan pengesahan APBN/APBD, penyusunan dan implementasi Program di level Kabupaten/Kota khususnya, semuanya sangat sarat dengan lobi-lobi dan kepentingan politik.