Skip to main content
| Berita Tentang Peternak

Mimpi Swasembada Tapi Bergantung Pada Daging Sapi Produk Impor

Daging sapi produk impor kembali menjadi solusi pemerintah menutupi kekurangan pasokan jelang Hari Raya Natal 2018 dan Tahun Baru 2019. Langkah ini diambil karena jumlah produksi daging sapi jelang akhir tahun hanya mencapai 35.845 ton sehingga tidak mencukupi kebutuhan nasional sebanyak 55.305 ton.

Pemerintah pun memutuskan mengimpor sebanyak 30.670 ton dengan komposisi 18.217 ton sapi bakalan dan 12.462 ton daging sapi dan kerbau. Impor daging sapi di kuartal IV 2018 ini memang mengalami penurunan dibanding 2017 yang tercatat sebanyak 31.451 ton dan 2016 mencapai 55.703 ton.

Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH) Kementerian Pertanian menilai keputusan itu wajar. Sebab, setiap bulan pemerintah memang melakukan memasukkan produk impor sebanyak 19 ribu ton daging sapi. Khusus hari raya keagamaan, pemerintah selalu siaga dengan menambahkan 10 persen dari kuota impor bulanan.

“Jadi memang setiap bulan udah biasa impor. Kan kebutuhan nasional [per tahun] 662 ribu ton sedangkan produksi dalam negeri [per tahun] 230 ribu ton,” kata Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) Kementerian Pertanian, Syamsul Ma’arif. Negara asal yang menyuplai daging juga tidak jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, seperti Australia, Selandia Baru, dan India yang menjadi langganan.

Di luar itu, daging produk impor berasal dari Kanada, Amerika, Spanyol, dan Jepang. Berdasarkan data Kementerian Pertanian, pada 2016 total volume impor daging sapi mencapai 116.761 ton dengan rincian 62.100 ton dari Australia, 39.524 ton dari India, 10.857 ton dari Selandia Baru, dan 4.280 ton dari negara lainnya.

Sementara pada 2017, total volume impor daging mengalami kenaikan menjadi 118.647 ton. Rinciannya, 59.744 ton dari Australia, 45.192 ton dari India, 7.228 ton dari Selandia Baru, 5.551 ton dari Amerika Serikat, dan 931 ton dari negara lainnya. Syamsul menuturkan alasan dipilihnya negara-negara itu karena daging yang dijual terjamin dari penyakit hewan.

Negara asal impor pun telah mendapat sertifikat kesehatan dari World Organisation for Animal Health (OIE). Alasan lainnya adalah kedekatan wilayah dan mekanisme pasar. “Mungkin kalau Australia dan Selandia Baru karena paling dekat ya. Lalu ada juga persaingan harga pas di Indonesia. Kalau dia jauh jadi harganya enggak cocok,” kata Syamsul.

 

 

Imbas Kebijakan Pemerintah

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI), Rochadi Tawaf mengatakan, tingginya produk impor daging yang dilakukan pemerintah merupakan imbas dari Peraturan Menteri Pertanian No. 2 Tahun 2017 tentang Pemasukan Ternak Ruminansia Besar ke Dalam Wilayah RI.

Sebab, peraturan itu mengharuskan pengusaha daging impor membeli sapi dengan rasio 1 indukan berbanding 5 bakalan. Menurut Rochadi, keberadaan sapi indukan yang berdalih pembibitan memerlukan kandang lebih besar, biaya operasional yang tidak sedikit, dan sistem bisnis yang berbeda pula. Karena itu, Rochadi menilai bisnis sapi feedlot (penggemukan sapi) dan pembibitan tidak dapat digabungkan.

Alhasil, kata Rochadi, kewajiban impor 1 sapi indukan membuat pengusaha sapi feedlot tidak dapat melaksanakan produksi daging sapi dengan maksimal. Dengan demikian, kekurangan produksi daging diatasi pemerintah dengan menambah produk impor yang tidak lagi terbatas pada daging sapi, tetapi merambah daging kerbau dan jeroan.

Rochadi menyoroti banyaknya daging impor membuat harga bertahan di kisaran Rp115 ribu. Akibatnya, membuat peternak tidak tertarik untuk memasarkan sapinya. Hal ini, kata dia, yang menyebabkan kekurangan suplai dan biasa ditanggapi pemerintah dengan impor.

Selain itu, kata Rochadi, faktor lain yang memengaruhi suplai sapi dari peternak rakyat adalah keberadaan sapi sebagai fungsi sosial bagi sebagian masyarakat. Rochadi mencontohkan sapi seringkali dianggap sebagai tabungan, bahkan penanda status sosial. “Inilah sumber kenaikan impor karena pangsa pasarnya diisi oleh daging impor.

Para peternak pun hanya memasarkan sapinya pada hari raya seperti kurban karena harga lebih mahal,” kata Rochadi. Menurut Rochadi, permasalahan di kalangan peternak pun tampak memburuk setelah pemerintah tidak lagi menjalankan tugas pembibitan dan pengembangbiakan sebagaimana tercantum dalam UU No. 14 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Menurutnya tugas itu kini diserahkan pada peternak. Namun, peternakan rakyat mengalami masalah lantaran tidak mendapat keringanan dari pemerintah. Tanpa insentif itu, kata Rochadi, akan mengalami kesulitan karena pembibitan dan pengembangbiakan yang membutuhkan waktu lama dan biaya yang tidak sedikit.

Pada 2017, pemerintah sebenarnya telah mencoba menerapkan Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS), tetapi belakangan program itu bermasalah dan dimoratorium. Sebab banyak peternak yang mengalami kesulitan memenuhi persyaratan KUPS. Rochadi pun menilai pemerintah sepatutnya memberikan insentif berupa bunga bank yang cukup rendah (< 5%), pengembalian mudah, hingga grace period hingga 3 tahun kredit.

“Jadi banyak fasilitas yang pemerintah berikan dengan setengah hati. Dia ingin meningkatkan produksi, tapi tidak memberikan fasilitas/insentif kepada peternakan rakyat,” kata Rochadi.

 

Apa Kabar Swasembada Daging Sapi?

Ketidakseriusan itu membuat publik bertanya-tanya: bagaimana dengan konsep swasembada yang dicita-citakan Presiden Jokowi? Pertanyaan ini wajar mengingat swasembada daging menjadi salah satu janji yang pernah diucapkan Jokowi saat kampanye Pilpres 2014.

Di sela-sela blusukan di Pasar Cipanas, Jawa Barat, Jokowi menegaskan Indonesia harus berani menghentikan daging produk impor. “Kita harus punya keberanian untuk beralih dari konsumsi ke produksi. Selama ini kita tidak berani berproduksi karena tidak ada kemauan,” kata Jokowi seperti dikutip Tempo, 29 Maret 2014.

Namun demikian, I Ketut Diarmita, Dirjen PKH menampik hal itu. Menurutnya, yang benar pemerintah kini mengejar swasembada protein hewani. Dalam artian, sumber protein masyarakat dapat diperoleh dari berbagai keanekaragaman protein seperti telur, sapi, domba, hingga kerbau.

Karena itu, I Ketut menuturkan pemenuhan kebutuhan itu tidak hanya dari daging sapi saja, tetapi secara simultan dari sumber protein hewani lainnya. Meski demikian, I Ketut mengklaim, pada 2026 pemerintah menargetkan potensi produksi daging sapi sudah mencapai ekspor.

Sebab saat itu, jumlah sapi di Indonesia telah menyentuh sekitar 30 juta ekor. “Kami ini sebenarnya, kan, menginginkan swasembada protein hewani, bukan daging sapi karena orang Bali tidak makan sapi. Ini, kan, kenyataan,” kata I Ketut, pada Kamis lalu (21/11). Selain itu, I Ketut juga berpandangan walaupun swasembada telah diraih, pemerintah tidak menutup diri terhadap produk impor. Paling tidak, terdapat 10 persen daging yang masih dapat diimpor.

“Kalau enggak gitu, kan, perdagangan dunia tidak berputar,” kata I Ketut. Akan tetapi, Rochadi menilai swasembada daging mustahil terwujud. Saat ini, kata dia, pemerintah masih memilih untuk melakukan impor daging untuk memenuhi kekurangan pasokan ketimbang meningkatkan produksi dalam negeri.

Belum lagi, pemerintah belum memiliki kebijakan yang konkret untuk mendukung peternak rakyat. “Enggak mungkin. Dalam 5 sampai 10 tahun enggak mungkin. Banyak kebijakan kontraproduktif yang membuat itu tidak bisa dilakukan. Jangan mimpi lah dengan cara-cara seperti sekarang,” kata Rochadi.

Terkait swasembada protein, Rochadi mengatakan dirinya juga pesimistis. Sebab, tugas memperhatikan kebutuhan protein masyarakat bukan berada di ranah Kementerian Pertanian, melainkan Kementerian Kesehatan. Belum lagi, ia menilai sampai saat ini belum ada satu pun catatan tentang komoditas yang berhasil mencapai swasembada.

Sumber: tirto.id