Menyatukan Tekad Melalui Kongres Nasional Peternak Rakyat
Kongres Nasional Peternak Rakyat yang sempat dikabarkan akan gagal akhirnya terlaksana di Gedung Pewayangan Kautaman, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Senin, 28 November 2016, yang dihadiri oleh 16 asosiasi peternak dan beberapa perwakilan BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) diantaranya dari Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran dan Universitas Jenderal Soedirman.
Sebelumnya, beredar kabar bahwa Kongres ini terancam gagal diselenggarakan. Pada hari Jumat, 25 November 2016, Ketua Kongres, Teguh Boedyana yang juga Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI), memang mengeluarkan keterangan resmi bahwa ada upaya menggagalkan kegiatan tersebut, karena secara mendadak ada sekitar 500 peternak sapi perah yang menyatakan tidak dapat hadir.
Padahal, Kongres ini adalah inisiatif dari sejumlah asosiasi peternak tanpa bantuan dari manapun. Terbukti tidak ada satu pun logo perusahaan, yang ada hanya logo asosiasi. Ini adalah bukti bahwa peternakan rakyat sesungguhnya mampu mandiri.
Dengan tema "Merakyatkan Peternak Rakyat", para peternak Indonesia meminta komitmen pemerintah untuk memberikan peran lebih besar kepada peternak rakyat dalam pembangunan perekonomian. Karena meskipun kecil, peternak ikut menyediakan lapangan kerja, serta menyediakan asupan protein yang dibutuhkan oleh masyarakat. Namun selama ini pemerintah kurang berpihak pada keberadaan peternak rakyat.
Protes terhadap perlakuan pemerintah tersebut, para peserta bersama-sama mengenakan ikat kepala merah bertuliskan "Stop Marginalisasi". Pemerintah memang melakukan marginalisasi dengan cara mengimpor daging murah yang menggerus usaha peternak sapi lokal.
Untuk terus memperjuangkan nasibnya, semua peternak sepakat untuk mendeklarasikan tanggal 28 November sebagai "Hari Peternak Rakyat". Para peserta kongres ini juga merencanakan pembentukan dewan peternakan rakyat nasional. Dewan ini diharapkan mampu memberi masukan kepada pemerintah untuk membuat kebijakan di bidang peternakan rakyat.
Sumber: tempo.com