Skip to main content
| Berita Tentang Peternak

Haruskah Rantai Dingin?

Pada suatu forum diskusi tertutup mengenai pengembangan sapi potong, mengemuka bahwa bisnis sapi potong di Indonesia memiliki keunggulan komparatif. Keunggulan tersebut selain usaha penggemukan adalah pemasarannya yang dilakukan dengan pola rantai panas.

Pola ini ternyata telah membuat bisnis peternakan sapi potong rakyat mampu bertahan dari terpaan importasi daging beku selama puluhan tahun terakhir. Haruskah, industri sapi potong dalam pemasaran dagingnya menerapkan pola rantai dingin? Sebab banyak orang yang menyatakan bahwa  pola pemasaran “rantai panas” sesungguhnya merupakan kelemahan bisnis sapi potong di dalam negeri.

 

Rantai Dingin

Konsep rantai dingin atau secara lengkap disebut sebagai rantai pasok daging dingin dalam hilirisasi industri sapi potong, lazim digunakan di seluruh dunia. Konsep ini, menggunakan prinsip menurunkan temperatur/suhu sehingga dapat menghambat perkembangan mikroba yang ada dalam daging yang mengakibatkan kualitas daging dapat terjaga.

Kita tahu bahwa daging sapi merupakan media yang baik bagi tumbuh dan berkembangnya mikroba. Oleh karena itu, dengan menurunkan suhu diharapkan daging sapi akan mampu bertahan lama. Berbagai bentuk proses pendinginan daging dikenal denga nama chill dan frozen. Chill meat/beef adalah daging sapi yang hanya didinginkan tidak sampai beku biasanya, berkisar (4-6)0C.

Sedangkan frozen beef adalah daging sapi yang dibekukan dengan temperature dibawah 0oC. Daging sapi beku umumnya lebih tahan lama jika dibandingkan dengan daging dingin. Pola rantai dingin, tentunya memerlukan infrastruktur pendukungnya, seperti cold storage, freezer dan lainnya agar daging tetap dingin/beku sampai ke tangan konsumen.

Dalam proses mengolahnya pun memerlukan pencairan yang disebut dengan thawing. Jika proses ini tidak dilakukan sesuai dengan prosedurnya maka akan berakibat terhadap rendahnya kualitas daging tersebut.

 

Rantai panas

Istilah daging panas sesungguhnya di tujukan kepada daging segar.  Dimana ternak sapi setelah dipotong di rumah potong hewan, diproses dengan dikeluarkan jeroannya dipisahkan kaki, kulit dan kepalanya serta terakhir dipisahkan daging dari tulangnya.

Daging sapi yang dihasilkan tersebut tanpa perlakuan lainnya dikirim langsung kepada konsumen. Kondisi daging segar atau daging panas inilah yang menentukan adanya rantai pasok daging panas atau biasa disebut juga sebagai rantai panas daging sapi. Pola ini telah berjalan ratusan bahkan ribuan tahun di negeri ini, mengikuti kehidupan sosial budaya masyarakatnya.

Pada umumya selera masyarakat terhadap daging segar lebih disebabkan adanya rasa atau juicy dari daging segar yang memiliki rasa lebih “enak” dibandingkan dengan daging beku atau daging dingin. Selera masyarakat ini paling sulit didiskusikan karena sifatnya sangat pribadi, sehingga dengan berbagai upaya yang telah ditempuh pemerintah selama ini permintaan dan selera masyarakat akan daging panas masih tetap dominan.

Hal ini ditunjukkan oleh hasil penelitian APDI (Asosiasi Pedagang Daging Indonesia)  (2017) bahwa di Jabodetabek pedagang daging sapi dipasar tradisional sebagian besar  sekitar 93,9 % memasarkan daging segar dan hanya 6,1 %  yang menjual daging beku selain menjual juga daging segar.

Hal ini menunjukan bahwa konsumen masih memilih daging segar ketimbang daging beku. Penelitian ini juga menjelaskan bahwa dari 687 responden yang memilih untuk membeli daging segar sebanyak 85,75 % dan daging beku hanya 13,25 %. Berdasaran data ini, tampak jelas bahwa selera konsumen memilih daging segar di Jabodetabek masih sangat dominan.

Seperti diketahui bahwa Jabodetabek merupakan wilayah yang berbasis pembangunan industri dan jasa, dimana perilakunya lebih inovatif bila dibandingkan dengan wilayah berbasis industri pertanian maupun industri lainnya. Selain hal tersebut, yang menarik dari penelitian ini, ternyata konsumen rumah tangga, pedagang bakso warung makan dan pedagang eceran masih mendominasi sebagai konsumen daging segar.



Bahasa Daging

Pada ilmu teknologi daging, dikenal dengan istilah “bahasa daging (meat language)” dimana daging memiliki nama dan jenis potongan berdasarkan standar yang dimilikinya. Berdasarkan SNI No. 3932: 2008 tentang karkas dan daging sapi ternyata standarisasinya mengacu atau berorientasi kepada standarisasi daging sapi Amarika Serikat dan Australia.

Hal ini dibuktikan bahwa referensi yang digunakannya bersumber dari kedua negara tersebut. Pemerintah sepertinya tidak melihat adanya keunggulan komparatif di dalam negeri mengenai hal ini. Pasalnya, jika peta daging sapi yang kita miliki berorientasi kepada kedua negara itu, secara otomatis industri  sapi potong di dalam negeri akan menjadi sangat rentan dan tidak akan memiliki daya saing. Karena pasarnya akan di intervensi oleh kedua negara tersebut.

Seharusnya, peta daging sapi yang berstandar SNI tidak mengacu kepada negara lain, tetapi mengacu kepada perilaku konsumen dan budaya masyarakatnya di dalam negeri. Maka sesungguhnya, yang harus diakukan pemerintah adalah mengubah SNI tentang daging sapi ini sesuai dengan budaya masyarakatnya.

Misalnya; berbagai jenis menu makanan seperti masakan rendang, sate, semur, dendeng dan lain sebagainya yang berasal dari daging sapi dipetakan dalam peta karkas daging sapi dalam bahasa Indonesia bukan dalam bahasa Inggris. Sehingga kita memiliki peta daging sapi berstandar budaya Indonesia.

 

Alternatif pilihan

Ketersediaan daging beku di pasaran, sesungguhnya merupakan alternatif pilihan bagi masyarakat dan bukannya merupakan acuan. Selama ini dirasakan oleh masyarakat, bahwa pemerintah mengacu kepada harga dagig beku yang murah. Sehingga semua produk daging harus mengacu kepada harga tersebut.

Menurut hemat penulis disinilah letak kesalahan pola pikir menjadi kesalahan pola tindak. Sehingga semua kebijakan pemerintah sepertinya tiada hasilnya dengan telah mengorbankan biaya trilyunan rupiah, harga daging tetap tinggi. Sejatinya kedua kebijakan ini, baik pola pasok rantai panas maupun rantai dingin di introduksikan, sehingga masyarakat memiliki alternatif utuk memilih sesuai dengan seleranya.

Sumber: troboslivestock.com

Translate

Foto Abrianto

Abrianto

Seorang penggiat web blog sejak lama

Artikel Terkait

Artikel Terkait