Judicial Review UU Peternakan Tentang Impor Daging Sapi
Bisnis impor daging sapi memang menggiurkan, Indonesia dengan penduduk sekitar 250 juta merupakan pangsa pasar daging sapi terbesar di Asia Tenggara. Setahun tidak kurang kebutuhan daging sapi sekitar 670 ribu ton, dipenuhi dari produksi sapi lokal sekitar 440 ribuan ton, dan sisanya dipenuhi impor 230 ribuan ton.
Berdasarkan analisis dari data yang ada, ternyata volume impor daging sapi dari tahun ketahun akan terus meningkat. Hal ini terutama di sebabkan oleh elastisitas permintaan daging sapi bernilai (+ 1,2). Artinya makin tinggi pendapatan, konsumsi akan daging meningkat.
Namun, di sisi lain pemerintah menetapkan kebijakan atas harga daging Rp80.000 per kilogram. Atas kebijakan ini, dalam operasionalisasinya pemerintah telah melahirkan berbagai aturan yang tidak lagi mengindahkan kaidah-kaidah normatif pembangunan peternakan yang berpihak pada produsen.
Kondisi ini dimanfaatkan oleh para penikmat bebas yang berpetualang memanfaatkan bisnis impor daging sapi ini. Bisa dibayangkan apa yang tengah terjadi saat ini, yaitu besarnya keuntungan importir daging, di mana "daging industri" yang dijual sebagai "daging konsumsi" dengan marjinnya bisa mencapai lebih dari 50 persen.
Hal serupa terjadi pula pada bisnis importasi daging kerbau yang berasal dari negara yang belum bebas penyakit PMK.
Operasi Tangkap Tangan (OTT)
OTT oleh KPK terhadap PA seorang hakim MK dan LHI di tahun 2011 merupakan kasus yang melibatkan pejabat tinggi negara dan pengusaha, bernilai miliaran rupiah. Keterlibatan pengusaha dan penjabat tinggi pada impor daging sapi tersebut, tidak lepas dari banyaknya kebijakan yang lahir tidak berbasis saintifik, bersifat abu-abu, sehingga menjadikan multi tafsir.
Kebijakan yang dilahirkan tersebut telah berakibat pada karut marutnya pembangunan peternakan sapi potong serta gagal tercapainya swasembada daging sapi selama ini.
Misalnya, banyak kebijakan pemerintah yang dapat menimbulkan kerancuan dalam pelaksanaannya, seperti nomenklatur yang pernah bermasalah yaitu daging dan jeroan; sapi indukan; Lembu dan sapi; senjang waktu pemeliharaan sapi penggemukan, bobot sapi impor, penggunaan hormon, rasio impor bakalan dengan indukan dan lainnya.
Atas multitafsir tersebut telah terjadi kasus, antara lain dengan kasus pajak impor, diadilinya 32 perusahaan feedloter yang dituduh melakukan kartel, maraknya importasi daging ilegal di 2003-2004 serta fluktuasi tingginya harga daging.
Kontroversi UU PKH
Sesungguhnya UU No 41 Tahun 2014 tentang PKH sangat kontroversial, pada pertimbangan konsiderannya berbunyi bahwa dalam penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan, upaya pengamanan maksimal (maksimum sekuriti) terhadap pemasukan dan pengeluaran ternak, hewan, dan produk hewan, pencegahan penyakit hewan dan zoonosis, penguatan otoritas veteriner, persyaratan halal bagi produk hewan yang dipersyaratkan, serta penegakan hukum terhadap pelanggaran kesejahteraan hewan.
Realitanya dalam pasal-pasal pada batang tubuh yang diubah dalam UU ini, malah justru sebaliknya yaitu menjadi minimum sekuriti. Misalnya Pasal 59 ayat 2 pada UU No 18 Tahun 2009 bahwa produk hewan yang dimasukan ke Indonesia, boleh dari suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukan produk hewan.
Pasal ini sebenarnya telah diubah oleh MK pada 2010 lalu menjadi 'berasal dari suatu negara' bukan berasal dari zona dalam suatu negara, tentunya dengan mempertimbangkan 'maximum security'.
Namun, dalam UU No 41 Tahun 2014 hal tersebut muncul kembali di Pasal 36C, yaitu sebagai berikut: bahwa pemasukan Ternak Ruminansia Indukan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat berasal dari suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukannya. Pasal ini jelas-jelas tidak memperhatikan keputusan uji materi yang dilakukan oleh MK di 2010 lalu.
Terorisme Ekonomi
Terorisme ekonomi menurut Pakkanna (2016) adalah jenis teror yang kerap menyelimuti ekonomi rakyat. Rakyat menjadi tidak berdaya karena menghadapi problema struktural, yang ujungnya melahirkan ketimpangan dan kesenjangan.
Terorisme ekonomi membuat tatanan ekonomi rusak, jutaan pekerja kehilangan pekerjaan, tidak ada perdamaian, kehidupan sosial menjadi kacau, penuh pembunuhan dan tindak kriminal. Bahkan, bangsa bisa bangkrut, sehingga semua milik negara dijual ke asing (Mahatir dalam Khudori, 2003).
Sementara pendapat menyatakan bahwa, cara kerja untuk memuluskan "terorisme ekonomi", dimulai dari menggarap berbagai kebijakan dasar sampai dengan kebijakan tingkat operasional. Atas dasar hal tersebut, serta kelemahan kebijakan yang dilahirkan, pemerintah membuat para pemangku kepentingan khususnya para pebisnis daging sapi dengan serta merta merasa perlu melakukan lobi-lobi guna memuluskan bisnisnya.
Sejatinya proses pembentukan UU PKH pun diduga merupakan ajang bagi kaum predator ekonomi, khususnya pemodal dan pebisnis daging sapi dalam memanfaatkan kebijakan tersebut untuk kepentingannya menjalankan "terorisme ekonomi daging sapi".
Faktanya dengan terang benderang kita lihat ada keterlibatan para pengusaha importir daging dalam kasus OTT KPK beberapa hari lalu, walaupun dengan cara memutarbalikan fakta seolah membela kepentingan peternakan rakyat, yang sejatinya tidak ada untungnya buat mereka.
Melihat fenomena yang terjadi selama ini, sesungguhnya tidak mungkin importir daging membela kepentingan peternak domestik. Pasalnya bagi mereka adalah bagaimana caranya mendapatkan keuntungan dengan impor daging sapi untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri.
Berbeda dengan importir daging, para peternak rakyat mengajukan usul uji materi ke MK atas perubahan zona base ke country base, lantaran berupaya untuk memproteksi usaha ternaknya dari kemungkinan terjadinya outbreak penyakit hewan menular utama, khususnya PMK (Penyakit Mulut dan Kuku).
Karena keganasan penyakit ini, mampu meluluh lantakan bisnis petani peternak domestik hanya dalam sekejap, seperti kasus yang terjadi di Inggris tahun 2001.
Siskeswanas dan Otovet
Dalam sidang uji materi di MK yang lalu terungkap jelas bahwa pemerintah belum memiliki PP tentang sistem kesehatan hewan nasional dan otoritas veteriner. Ketiadaan PP ini memperlemah kondisi negeri dalam menangkal kemungkinan terjadinya PMK.
Sebab, PP tentang Siskeswanas dan Otovet merupakan kebijakan pemerintah mengenai tatanan Kesehatan Hewan yang ditetapkan oleh Pemerintah dan diselenggarakan oleh Otoritas Veteriner dengan melibatkan seluruh penyelenggara Kesehatan Hewan, pemangku kepentingan, dan masyarakat secara terpadu.
Di sinilah letak masalahnya, jika saja negeri ini memiliki siskeswanas dan otovet, serta kebijakan-kebijakannya berbasis saintifik sehingga kebijakannya tidak multi tafsir, tentu akan menurunkan lobi-lobi swasta atas kebijakan yang terlahir.
Semoga gonjang ganjing yang terjadi selama ini menjadi pengalaman berharga bagi pembangunan peternakan di negeri ini....Semoga!
* Opini Sekjen Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia, Rochadi Tawaf
Sumber: liputan6.com