Mengenai Daging Sapi, Pemerintah Jangan Mengeluarkan Statement Yang Membingungkan Publik
Presiden Joko Widodo menargetkan harga daging sapi yang saat ini berkisar Rp110 ribu bisa ditekan menjadi Rp80 ribu. Target tersebut harus tercapai sebelum Hari Raya Idul Fitri 2016 tiba.
Berdasarkan data dari infopangan.jakarta.go.id per Selasa (24/5), harga daging sapi paha belakang Rp122.250 per kilogram, naik Rp 1.030 dari hari sebelumnya. Sedangkan daging sapi murni (semur) Rp113.684 per kilogram, turun Rp190 dari hari kemarin.
Menurut Ketua KPPU Syarkawi Rauf, berdasarkan inspeksi mendadak yang dilakukan menjelang Ramadhan ini, daging sapi memang salah satu komoditas yang sudah mengalami kenaikan harga namun belum terjadi secara merata. Kenaikan relatif tinggi tertinggi terjadi di daerah Jambi dan DKI Jakarta.
Untuk menurunkan harga, Syarkawi meminta Pemerintah untuk segera melakukan intervensi masalah impor daging. Jika daging impor cepat masuk, akan efektif menurunkan harga. Namun demikian harus juga memperhatikan regulasinya.
Saat ini, pemerintah telah menugaskan BUMN, yakni PT Berdikari untuk mengimpor daging sapi. Pemerintah wajib meminta perusahaan tersebut mengimpor daging sapi kualitas tertentu, misalnya, kualitas medium. Apabila yang diimpor adalah daging sapi dengan harga yang mahal maka tetap tidak akan dapat menstabilkan harga di pasar.
Sumber : republika.co.id tanggal 24/05/16 dan 26/05/2016
-------------------------------------------------------------
Tanggapan PPSKI melalui SekJen Rochadi Tawaf
PPSKI menilai ambisi Presiden menekan harga daging sapi jelang Lebaran ganjil. Sebab hal tersebut tidak didukung data pasokan dan kebutuhan yang akurat serta keliru dari segi perbandingan harga komoditas serupa di negara tetangga. Pada prinsipnya, harga daging sapi tetap mengikuti teori supply-demand. Jika pasokan rendah dan permintaan tinggi, harga juga pasti tinggi. Begitu pun sebaliknya.
Jika ingin mengatur harga daging, maka pemerintah harus memiliki data akurat mengenai kebutuhan, pasokan, dan permintaannya. Bukan seperti sekarang ini dimana data yang dipegang oleh pemerintah adalah data dalam beragam versi dan sarat kepentingan.
Untuk memenuhi kebutuhan daging, kini tidak bisa lagi mengandalkan pasokan lokal. Walaupun Pemerintah mengandalkan impor sebanyak 10 ribu ton (yang hingga kini belum terealisasi), daging-daging beku tersebut tetap tidak bisa mensubstitusi pasokan. Penyebabnya, masyarakat Indonesia belum familiar dengan daging beku dan lebih menyukai daging segar, apalagi untuk kebutuhan Ramadhan.
Mengenai harga daging, PPSKI mengharapkan Pemerintah jangan mengeluarkan statement yang membingungkan publik. Contohnya adalah dengan membandingkan harga daging dengan negara tetangga. Singapura dan Malaysia disebut menjual harga daging di masyarakat dengan harga Rp 40-50 ribu.
Seharusnya Presiden jeli melihat dan membandingkan harga dengan kualitas masing-masing. Sebab kebanyakan daging yang beredar justru daging kerbau yang memang harganya rendah. Daging tersebut tidak bisa dibandingkan dengan daging sapi paha belakang yang harganya tinggi di Indonesia.
Jika harga daging di negara Malaysia rendah, itu disebabkan negara tersebut memiliki regulasi pengatur harga yang kuat. Sehingga, pengaturan harga daging bukan di tangan pedagang melainkan diatur pemerintah. Sementara Indonesia masih menyerahkan pengaturan harga pada pasar bebas. Jika ingin meniru negara tetangga dalam hal harga daging murah, seharusnya strategi yang diberlakukan dibarengi pembanding yang tepat.