Prahara Peternakan Sapi
Program swasembada daging sapi sudah berjalan lebih dari dua dasawarsa, yaitu dimulai pada 1995. Dengan berbagai macam tagline semua program tersebut gagal total tidak mencapai target sesuai dengan rencana yang dibuat. Penyebab utamanya, program ini merupakan jargon politik.
Program tersebut telah menghabiskan dana puluhan triliun rupiah. Sementara fenomena yang terjadi, harga daging sapi terus meningkat tinggi tidak kunjung turun. Pada tahun 2010 harga daging sapi Rp 67.822 per kilogram (kg), kini sekitar Rp 125.600 per kg.
Impor daging sapi dan daging kerbau setiap tahun terus meningkat, khususnya daging kerbau di tahun 2016 hanya 39.524 ton kini di tahun 2021 mencapai 73.780 ton yang melimpah di pasar tradisional. Sedangkan impor sapi bakalan menurun tajam ( turun 35 persen).
Semua itu tidak berakibat menurunnya harga dan kesenjangan permintaan daging sapi dengan produksinya, bahkan semakin melebar. Menurut data BPS yang dianalisis oleh Qasa (2018), laju permintaan daging sapi tumbuh 6,4 persen per tahun, sementara produksi di dalam negeri hanya mampu tumbuh 1,3 persen.
Disharmoni kebijakan
Apabila diamati, ternyata kegagalan program swasembada daging sapi di masa lalu terkendala oleh disharmoni kebijakan (Tawaf, 2014, 2020, dan 2021). Kebijakan-kebijakan tersebut antara lain, pertama, larangan penggunaan hormon pertumbuhan (UU Nomor 41/2014 Pasal 22 ayat 4.c); disisi lain kita melakukan importasi sapi maupun daging sapi dari negara yang menggunakan hormon.
Kedua, kebijakan lamanya pemeliharaan penggemukan sapi impor paling cepat 4 bulan (UU Nomor 41/2014, Pasal 36B, ayat 5). Sesungguhnya, inovasi ditujukan untuk meningkatkan nilai tambah dan efisiensi usaha. Namun dalam kasus ini, ternyata kebijakan ini membuat rendahnya perputaran modal sehingga produksi daging di dalam negeri tidak memiliki daya saing.
Ketiga, kebijakan perubahan berat badan pada impor sapi bakalan dari 350 kg menjadi 450 kg (Permentan Nomor 49/2016 jo. 02/ 2017 Pasal 15). Kebijakan ini pun sangat kontroversial, pasalnya konsep pertumbuhan konpensasi akan diperoleh pada berat badan 300-350 kg pada sapi sapi impor. Dengan berubahnya kebijakan ini, tentu berdampak terhadap rendahnya tingat produk yang dihasilkan, sementara preferensi pasar di negeri ini hanya pada sapi-sapi siap potong dengan maksimal berat 500 kg.
Keempat, membebaskan impor daging dan sapi (Permentan Nomor 17/2016, Permentan Nomor 34/2016 dan Permendag Nomor 59/2016 ). Upaya pembebasan impor ini, sesungguhnya bisa dilakukan sepanjang kebijakan pengembangan peternakan di dalam negeri sama dengan di negara pengekspor ternak tersebut.
Kelima, membuka impor dari negara yang belum bebas penyakit mulut dan kuku (PP Nomor 4/2016 dan SK Mentan Nomor 2556/2016). Kebijakan ini sesungguhnya bertentangan dengan UU Nomor 41 tentang PKH Pasal 36 E ayat 1. Sementara itu, PP Nomor 4/2016 dan SK Mentan Nomor 2556/2016 tegas melanggar UU Nomor 41/2014.
Sesungguhnya secara teoritis, jika saja kebijakan yang lebih rendah hirarki hukumnya bertentangan dengan UU, maka kebijakan tersebut batal demi hukum. Namun faktanya, pemerintah masih melakukan importasi daging asal India. Selanjutnya, kebijakan rasio impor sapi bakalan dengan indukan (lihat Permentan 02/2017 Pasal 7). Berdasarkan hasil análisis kebijakan ini akan mematikan bisnis feedlot, pengurasan populasi sapi lokal dan sapi perah, serta meningkatnya pemotongan sapi betina produktif.
Dampak disharmoni
Apabila kebijakan tersebut tidak segera dilakukan harmonisasi, dampaknya akan terjadi de-industrialisasi pada industri feedlot, indikasinya mulai tampak saat ini. Berdasarkan hasil analisis, ternyata di negeri ini telah dan akan kehilangan kegiatan ekonomi yang berasal dari nilai tambah industri feedlot sekitar Rp 16,4 triliun per tahun, dan dari impor sapi bakalan senilai Rp 35 triliun.
Jumlah tersebut berasal dari omzet bisnis 14 perusahaan feedlot senilai Rp 2,3 triliun yang sudah tidak berusaha, dan 29 feedlot senilai Rp 14,1 triliun menunju kebangkrutan. Selain itu, sekitar 20.000-an orang akan kehilangan pekerjaannya, berkurangnya ketersediaan pupuk kandang, dan pendapatan petani lokal Rp 6,3 triliun. Data tersebut belum menghitung kerugian ekonomi masyarakat akibat keterkaitan bisnis ini terhadap 120 sektor perekonomian (ke hulu dan hilir). Ujung-ujung telah dirasakan saat ini jumlah kemiskinan ekstrem bertambah.
Transformasi
Apabila kita perhatikan perkembangan ketersediaan daging sapi hingga kini, penyelesaiannya harus dilakukan dengan metode kekinian, tidak lagi menggunakan metode-metode konvensional. Misalnya, digitalisasi yang tumbuh pesat di industri hilir (pasar) kiranya di subsistem budidayanya pun harus segera bertranformasi. Misalnya dengan menerapkan platform Sistem Identifikasi Sapi Indonesia (SISI) dan atau Nasional Livestock Identification System Indonesia (NLIS-ID). Sehingga dapat diketahui kepastian populasi dan kemampuan produksinya dengan akurat.
Jika ini dilakukan, program-program yang dicanangkan pemerintah akan nampak jelas tingkat keberhasilannya secara akuntabel. Selain hal tersebut, diperlukan pula harmonisasi dan keajegan kebijakan pengembangan sapi masa lalu yang harus disesuaikan dengan era digitalisasi saat ini.
Jika hal tersebut di atas tidak segera dilakukan transformasi, kiranya prahara peternakan sapi akan menjadi kenyataan, yang ditunjukkan dengan tidak akan adanya lagi kata “swasembada” diucapkan oleh pemerintah maupun rakyat Indonesia. Pasalnya, diprediksi oleh banyak pihak terutama para pelaku bisnis, bahwa pasca pandemi Covid-19, yaitu pada dua tahun ini jika cara-cara penyelesaiannya dilakukan secara konvensional dan kebijakannya selalu bersifat disharmoni dan berubah-ubah, diduga kuat bahwa peternakan sapi akan masuk ke dalam kondisi “food trap”.
Sumber: Tulisan Rochadi Tawaf di kompas.id - Penasihat Perhimpunan Ilmuwan Sosek Peternakan Indonesia (Persepsi); Dewan Pakar PB ISPI (Perkumpulan Insinyur dan Sarjana Peternakan Indonesia) dan Komite Pendayagunaan Petani dan Dewan Pakar PPSKI